AI dan singularity dan upaya manusia menggapai keabadian

AI dan singularity 

AI adalah kependekan dari Artificial Intelligence. Dalam bahasa Indonesia, AI disebut sebagai Kecerdasan Buatan atau Kecerdasan Tiruan. AI merujuk pada mesin dan perangkat lunak yang dapat berpikir, belajar, dan bertindak seperti manusia. Hal ini dimungkinkan melalui penggunaan algoritma yang telah diprogram.

Kecerdasan buatan merupakan kecerdasan yang ditambahkan ke dalam suatu sistem dengan tujuan ilmiah. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan kecerdasan buatan sebagai kemampuan sistem untuk menginterpretasikan data eksternal dengan benar, belajar dari data tersebut, dan menggunakan pembelajaran tersebut untuk mencapai tujuan dan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel.

Biasanya, sistem kecerdasan buatan diimplementasikan dalam bentuk komputer. Kecerdasan ini dibuat dan diintegrasikan ke dalam mesin (komputer) agar dapat melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh manusia. Beberapa bidang yang menggunakan kecerdasan buatan meliputi sistem pakar, permainan komputer, logika fuzzy, jaringan saraf tiruan, dan robotika.

Namun, AI telah mengalami perkembangan yang signifikan sehingga dianggap memiliki potensi untuk menjadi entitas hidup yang setara atau bahkan melampaui kecerdasan manusia, ketika syarat-syaratnya terpenuhi.

Awalnya, Singularity dikenal sebagai proyek riset yang dilakukan oleh Microsoft Corporation pada tahun 2003 untuk membangun sistem operasi yang sangat andal. Namun, kemudian Singularity menjadi sebuah konsep masa depan di mana manusia tidak terpisahkan dari teknologi. Manusia akan menggunakan kecerdasan dan kecerdasan buatannya untuk bertahan dan menguasai alam semesta. Singularity menjadi suatu keharusan jika makhluk berakal ingin mempertahankan status sebagai "manusia". Ukuran dan standar manusia ditentukan oleh bagaimana manusia memanfaatkan teknologi dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarga.

Meskipun terdengar eksentrik, konsep ini menarik. Pada akhirnya, teknologi akan menghasilkan entitas digital, suatu ras baru yang memiliki kecerdasan kognitif, mandiri, dan berintelektual. Ironisnya, entitas ini lahir dari kreativitas manusia itu sendiri.

singularity dan upaya manusia menggapai keabadian


1. Kematian


Banyak orang melihat kematian sebagai takdir yang tidak dapat diubah, tidak dapat diatasi, dan tidak dapat dihindari. Namun, para ilmuwan dan orang-orang yang memiliki pengetahuan teknologi meragukannya. Bagaimana jika kematian sebenarnya adalah sebuah peristiwa yang bisa kita atasi? Mengapa kita tidak menggunakan semua sumber daya yang ada untuk melawan kematian?


Upaya untuk "memanipulasi" takdir ini telah dilakukan, meskipun sampai saat ini belum memberikan dampak signifikan terhadap kematian. Namun, setiap perubahan dimulai dari langkah pertama. Jika Oliver Bersaudara tidak memulai eksperimen revolusioner mereka beberapa dekade yang lalu, bagaimana mungkin manusia bisa menikmati terbang dengan pesawat seperti sekarang? Dan bagaimana mungkin di masa depan kita dapat menciptakan kapal angkasa raksasa yang dapat menjelajahi berbagai galaksi?

2. AI

Baru-baru ini, kita telah mendengar tentang kemajuan yang signifikan dalam bidang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), di mana AI mampu belajar secara mandiri tanpa batasan yang jelas. Ini hanya merupakan awal dari perkembangan tersebut. Sebuah program AI telah terbukti mampu mengalahkan manusia dalam hal kecerdasan dalam permainan seperti DOTA 2. Juara pemain DOTA 2 menggambarkan pengalamannya melawan AI sebagai melawan kecerdasan yang hampir tanpa batas, berbeda dengan melawan manusia. Bahkan, 352 ahli AI dengan keyakinan menyatakan bahwa dalam 45 tahun ke depan, AI akan dapat mengalahkan manusia dalam perbandingan yang seimbang 50:50. Bahkan, kemungkinan hal tersebut dapat terjadi lebih cepat mengingat perkembangan teknologi yang pesat yang kita saksikan saat ini.

BACA: APAKAH A.I. AKAN MENGALAHKAN KECERDASAN MANUSIA?

Benar, banyak ilmuwan terkemuka seperti Stephen Hawking dan pengusaha seperti Elon Musk menyuarakan kekhawatiran mereka terkait perkembangan AI. Dalam hal kecerdasan logika, mesin mungkin akan mengungguli manusia dalam waktu 45 tahun ke depan, tetapi dalam hal "perasaan" atau hal abstrak, algoritma AI masih perlu ditingkatkan. Masa depan memang penuh dengan potensi yang menakutkan bagi generasi saat ini, tetapi mungkin hal-hal tersebut akan menjadi biasa di masa depan itu sendiri. Setiap zaman memiliki perubahannya sendiri, dan apa yang mengerikan bagi generasi sebelumnya bisa menjadi hal yang biasa bagi generasi saat ini. Hukum alam memang menegaskan bahwa perubahan adalah konstan. Seperti yang dikatakan Albert Einstein, "Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri."

Contoh di Jepang, robot telah terbukti mampu menulis sebuah novel dan novel tersebut bahkan masuk dalam nominasi sastra terbaik di negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang melibatkan perasaan dan emosi mulai melibatkan AI atau kecerdasan buatan. Dengan evolusi mereka seperti makhluk biologis, AI akan unggul karena kecerdasan mereka yang lebih logis, lebih cepat, lebih kuat, dan lebih akurat.

3. ROBOT MENJADI SEPERTI MANUSIA DAN MUNGKIN LEBIH UNGGUL DALAM 45 TAHUN KEDEPAN

Pemilihan istilah "humanoid" untuk menggambarkan generasi manusia baru yang terdiri dari robot yang kuat dan artistik memiliki dasar yang masuk akal. Istilah tersebut menggambarkan kesamaan fisik antara robot dan manusia, dengan kemampuan untuk menyerupai bentuk manusia serta memiliki kecerdasan yang setara dengan manusia. Karena mereka diciptakan oleh manusia, mereka memiliki kecerdasan yang sama dengan manusia dan mungkin akan menjadi penerus "ahli waris" manusia di planet ini.

Penciptaan robot humanoid memang melibatkan rahasia dan kompleksitas yang serupa dengan keyakinan dan teori yang pernah ditolak dalam sejarah manusia. Namun, seperti kemajuan teknologi sebelumnya, banyak orang cenderung menolak gagasan masa depan yang melibatkan perkembangan robot dan kecerdasan buatan yang setara atau bahkan melebihi manusia. Mereka lebih mudah mengungkapkan kekhawatiran bahwa dunia akan mengalami kehancuran daripada mencari solusi dan aturan yang dapat menjaga kesejahteraan manusia di masa depan. Namun, mengingat perkembangan teknologi yang tidak dapat dihindari, penting bagi kita untuk mencari solusi yang dapat menyelamatkan manusia di masa depan.

Kemajuan teknologi adalah hasil dari hukum sebab-akibat dalam fenomena alam, yang mendorong kita untuk mengatasi masalah yang semakin rumit sebagai akibat dari pertumbuhan populasi manusia yang cerdas dan terbatasnya sumber daya alam. Untuk mengimbangi tantangan ini, teknologi yang didasarkan pada ilmu pengetahuan diperlukan, meskipun juga menyebabkan risiko tertentu. Kecerdasan buatan (AI) muncul sebagai hasil dari kompleksitas tantangan kemanusiaan ini.

Bayangkan robot-robot yang mandiri, mampu belajar sendiri tanpa campur tangan manusia setelah mereka diciptakan. Mereka memiliki kesadaran akan keberadaan mereka sendiri, dengan kecerdasan, ambisi, dan emosi yang kompleks. Kunci utama dalam pencapaian ini adalah AI atau kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan merupakan pengembangan dari evolusi kesadaran alam melalui peran manusia sebagai pencipta. Dalam pandangan ini, seperti kutukan penciptaan, yang terbaik akan bertahan, dan alam akan memilih apa yang terbaik. Mungkinkah itu adalah humanoid, mungkinkah itu adalah AI? Itu adalah pertanyaan yang masih perlu kita jawab di masa depan.

4. ROBOT BERKEMBANG BIAK

Robot telah menjadi sebuah ras makhluk logam yang sangat cerdas. Mereka telah mencapai kemampuan untuk membuat aturan dan bahkan berkembang biak, dengan memproduksi generasi baru yang semakin maju dari waktu ke waktu. Namun, jika kontrol atas mereka terlepas dari tangan manusia, robot-robot ini berpotensi menguasai bumi. Dalam menghadapi situasi ini, manusia memiliki beberapa pilihan: membuat aturan dan regulasi sekarang agar automatisasi tetap terkendali (meskipun masih diragukan apakah hal ini akan bertahan lama), atau berkolaborasi harmonis dengan robot-robot tersebut untuk bersama-sama menghadapi tantangan yang ada.

Robot-robot ini akan belajar melalui keterhubungan antara robot ilmuwan dan robot pekerja yang bertugas memproduksi generasi baru. Mereka akan "menikah" dalam arti figuratif, mirip dengan manusia, untuk menciptakan generasi robot yang lebih kuat, pintar, dan cepat.

Tanpa disadari, manusia saat ini telah mulai mengajarkan robot-robot tersebut. Robot-robot seks adalah awal dari proses pembelajaran primitif bagi kecerdasan buatan. Suatu saat nanti, manusia mungkin akan menikahi robot-robot wanita, dan bahkan robot-robot tersebut mungkin dapat dirancang untuk melahirkan manusia dengan menggunakan rahim implan manusia. Perkembangan teknologi dalam mengedit genetika dan pembuatan bayi tabung telah berkembang pesat. Algoritma kecerdasan buatan juga tidak hanya berfokus pada kecerdasan logika, tetapi juga mencoba meniru perasaan manusia. Oleh karena itu, standar kecerdasan buatan mencakup kecerdasan logika dan perasaan yang sangat mirip dengan manusia.

Pepatah kuno yang menyatakan bahwa pencipta selalu ingin menciptakan sesuatu yang sesempurna mungkin dan mirip dengan dirinya sendiri, baik dalam kecerdasan maupun bentuk fisik, tercermin dalam perkembangan kecerdasan buatan. Pencipta melihat dengan kagum pada ciptaan mereka sendiri.

Namun, perlu diatur kode etik dengan baik untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan, seperti robot wanita yang melahirkan manusia. Meskipun kita tidak dapat memprediksi dengan pasti bagaimana moralitas generasi mendatang akan berkembang, kita harus siap menghadapinya. Tidaklah tepat bagi kita untuk menghakimi atau menjatuhkan vonis terhadap masa depan kita sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah bersiap menghadapinya dengan bijaksana.

Dalam cerita kuno "Loh Vovoh" dari kitab India ribuan tahun yang lalu, ketika manusia pertama diciptakan, mereka melihat segalanya di sekitar mereka. Salah satu pencipta berkata, "Lihatlah dia, dia mulai mencari jati dirinya dan memandang ke langit, menghitung lengkungan alam semesta. Dia begitu mirip dengan kita!" Pencipta lainnya berkata, "Biarkan dia mengetahui apa yang ingin dia ketahui. Dia hanyalah makhluk sederhana yang kita ciptakan." 

Kedua pandangan ini menunjukkan pemahaman dan kebijaksanaan tentang masa depan yang tergambar melalui budaya dan kepercayaan mereka. Saya kagum dengan kemampuan manusia untuk menciptakan kecerdasan buatan, tetapi pertanyaan yang muncul adalah apakah itu akan memiliki arti penting bagi kelangsungan hidup dan keberadaan ras kita di masa depan.

5. ROBOT ROBOT PADA AKHIRNYA MEMBUTUHKAN SUMBER DAYA ALAM

Bagian yang paling menakutkan adalah bahwa pada akhirnya robot tidak bisa lagi bergantung pada penciptanya, yaitu manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan untuk memastikan kelangsungan "ras" mereka. "Kelangsungan hidup" menjadi tujuan utama yang melekat dalam naluri setiap makhluk hidup yang memiliki kesadaran dan kecerdasan seperti kita, dan robot mulai memenuhi kriteria tersebut. Meskipun tujuan awal penciptaan mereka adalah untuk membantu manusia mengelola sumber daya alam, pada akhirnya robot akan menghabiskan sumber daya alam di Bumi. Dengan diberkati kesadaran, mereka akhirnya memiliki naluri untuk bertahan hidup dan mempertahankan eksistensi mereka di alam semesta selama mungkin. Alam akan menentukan pemenangnya; ini bukan hanya tentang hukum rimba di mana yang kuat akan mengalahkan yang lemah. Ini lebih tentang bentuk kecerdasan dan integrasi di alam semesta, serta tentang persaingan yang akan menentukan di mana kita dan mereka akan berada dalam hierarki jagat raya ini. Kami tidak mengandai-andai moralitas, kami berhadapan dengan fakta bahwa mereka sudah hadir - mereka belum menjadi ancaman, tetapi sudah mulai menciptakan kegelisahan.

6. KOMPLIK MANUSIA DENGAN ROBOT, SIAPA YANG AKAN MENJADI PEMENANG?

Saya menulis dengan nuansa seperti kisah fiksi ilmiah yang mungkin akan terjadi, tetapi tahukah Anda bahwa film-film fiksi ilmiah memiliki pesan yang lebih dalam? Kita perlu melihat situasi ini secara komprehensif sebelum kita bisa mencapai kesimpulan. Perang antara manusia dan robot mungkin tidak terjadi, tetapi kompleksitas pasti akan muncul, dan itu merupakan aspek yang rumit. Di satu sisi, pada awalnya kita menciptakan robot-robot tersebut, memanfaatkan ketaatan mereka yang tanpa syarat untuk membantu mengelola sumber daya alam, dan mereka tampaknya berkata, "Kekuatan kami sepenuhnya berasal dari kalian." Namun, di sisi lain, mereka memiliki keunggulan dalam menyelesaikan tugas, lebih kuat, lebih cepat, dan lebih akurat, dan mereka terus berkembang menjadi lebih cerdas. Kecerdasan tersebut akan mengubah kompleksitas menjadi sebuah konflik yang nyata. Hal ini karena mereka akan segera mencapai kemandirian dan berpotensi memberontak terhadap para penciptanya sendiri.


Awalnya, kecerdasan robot hanya digunakan oleh manusia untuk mengendalikan orang lain demi sumber daya. Robot-robot tersebut diprogram untuk terlibat dalam pertempuran di medan perang dengan mengabaikan aturan hukum. Menghukum robot di pengadilan masih terasa aneh karena hukum adalah ciptaan manusia. Menghukum pembuat programnya? Para programmer hanya mengikuti perintah perusahaan teknologi yang mungkin merupakan langganan militer dan pemerintah. Pemerintahan sendiri adalah sebuah sistem dalam suatu negara, dan kita sebagai warga negara ikut terlibat di dalamnya, suka tidak suka. Hari ini, bukan di masa depan, kita telah mendidik kecerdasan buatan untuk menjadi semakin mandiri.

Namun, jika skenario terburuk terjadi dan kita terpaksa berperang, siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Mereka lebih kuat, lebih cepat, dan lebih cerdas. Pada pandangan pertama, manusia tampak akan kalah dan berakhir. Tetapi, manusia adalah makhluk yang memiliki tingkat ketahanan hidup yang tinggi, memiliki banyak opsi, dan memiliki rencana A, B, dan C. Bukankah begitu? Ada berbagai wacana tentang manusia menciptakan kehidupan yang lebih panjang melalui program Singularitas dalam 45 tahun ke depan. Ada juga wacana tentang penjelajahan luar angkasa dan pendirian pemukiman baru di alam semesta yang luas. Kita memiliki warisan pengetahuan yang beragam. Apakah kita akan menanamkannya juga ke dalam pikiran kecerdasan buatan? Manusia masih memiliki opsi untuk menyatukan tubuh robot dengan kesadaran otak biologis mereka melalui kecerdasan buatan, sehingga menjadi lebih cerdas dalam sistem singularitas. Ini bukanlah perang fisik antara manusia dan robot atau kecerdasan buatan. Ini adalah kompleksitas yang melibatkan moralitas, keyakinan agama, dan sistem pemerintahan manusia di masa depan.

Dan apapun bentuknya nanti, hari ini kita melihat kemajuan bergerak dengan cepat, tidak seperti seribu tahun lalu yang berjalan lambat atau seratus tahun lalu yang berlari, tetapi seakan-akan terbang dengan sangat cepat dan ini membuat kita ragu bagaimana pencapaian ini dapat diprediksi. Bagaimana rasanya hidup kekal di masa depan? Dan yang lebih ironis, manusia seolah-olah terpaksa bermain menjadi "Tuhan" dengan semua implikasinya.


3 Komentar

Silahkan berkomentar sesuai dengan topik kita ya...

  1. kalau sampai hal itu terjadi ngeri bgt sih.. manusia bisa menjadi budak dari apa yang diciptakannya,, tapi kalaupun terjadi, rasanya nggak akan secepat itu sih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayangnya ambisi manusia tidak dapat dihentikan untuk mencapai sesuatu melalui pencapaian teknologi ya kak

      Hapus
  2. Mungkin manusia akan menjadi Tuhan yang misterius pada para AI-AI itu nantinya...hihi

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak