Hai teman teman, jika engkau merasa pernah memiliki cinta, dan aku juga pernah memilikinya. Tapi waktu berlalu, cinta benar benar tidak harus memiliki, walau itu harus melalui luka. Dan ketika semuanya telah berlalu, ketika luka telah sembuh, tinggalah kenangan, dan demi kenangan dan rasa bersalah itulah, aku tidak rela dunia melupakannya, bahwa aku pernah memiliki seorang gadis yang saaangat aku cintai.
Aku tahu sekali dia gadis berhati baik, penyayang dan bibirnya selalu menyunggingkan senyuman manis setiap memandang wajah orang yang mengajaknya bicara dan yang paling aku suka adalah tatapan bola mata indahnya yang lekat penuh pesona. Dan Aku tahu sekali dia adalah gadis baik dan selalu ringan tangan membantu orang lain yang berada dalam kesusahan, aku ingin sekali menceritakan ini kepada dunia dan hari ini aku ingin dunia mengenang dia ketika namanya dilupakan oleh kejamnya kehidupan ini.
Yang paling dia sukai adalah kebun bunga mawar ibunya, dan setiap hari dia membantu merawat dan menyiramnya. Orang tuanya adalah pedagang bunga yang berhasil, bunga bunga dari kebunnya di pesan oleh orang orang dari kota. Tentang bunga mawar Mahdalena pernah mengatakannya kepadaku sewaktu kami berjalan menuju kesekolah kami dipagi hari: "Suatu hari kalau punya rumah sendiri, akan kutanami halamannya dengan mawar mawar merah". Entah mengapa kata katanya itu seperti memberikan semangat dan harapan hidupku walaupun aku bukan pencinta bunga mawar. Aku membayangkan sebuah rumah dengan halaman penuh bunga mawar dengan Aku dan Mahdalena sebagai penghuninya. Angan anganku terlalu jauh dimasa kami masih sangat belia. Aku merasa malu pada diriku sendiri.
Terutama pada hal hal kecil yang tak dapat kulupakan adalah, misalnya sore itu saat kami menunggu hujan reda di teras sekolah, air hujan membasahi rambut tebalku yang ikal dan rambutnya yang hitam legam dan berombak bagai gumpalan awan di langit biru, panjang hingga melewati bahunya. Dia mengeluarkan sapu tangan mencoba mengeringkan rambutnya dan setelah itu sekali sekali dia mencoba mengeringkan rambutku juga.
Aku duduk duluan di bangku panjang mengeluarkan kertas putih, melanjutkan hobiku menggambar, dia menyorongkan wajahnya ke kertas yang sedang aku coret dengan pinsil yang memiliki penghapus warna merah muda pucat. Dia selalu mengagumi ketrampilan menggambarku.
Seringkali tanpa kami berdua sadari kami sering duduk begitu berdekatan, dia meletakan kedua lengannya di pundakku dan memperhatikan garis demi garis polos yang kubuat melalui tanganku yang menari di atas kertas itu, kadang dia menyentuh penghapus di ujung pensilku. Tentu saja aku protes.
"Jangan pegang itu...tuh kan jadi salah" awalnya dia tentu akan cemberut tapi itu hanya sebentar lalu dia seperti biasa tertawa, mentertawakan ku.
"Eh, Kok tangannya yang kamu gambar itu jadi pengkor, hi hi hi"
"Itu gara gara kamu" biasanya aku menggerutu sambil menghapus dan membetulkan gambar. Aku menggambar dua anak remaja: Yang satu anak lelaki yang lain adalah anak prempuan.
Dia memeloti gambar itu: dan menekan pundakku dengan kedua lengannya sambil terus mencela gambarku.
"Rambutku kan lebih panjang, panjangin!" protesnya.
Aku menoleh dan memandangnya: "Emang siapa juga yang menggambar kamu huuu" ledekku.
Dia menunjukan wajah cemberut kadang aku juga merasa terganggu dan agak kesal.
"Eh yang anak cowok itu napa kamu buat mirip kamu, yang cewek itu kan harusnya aku" katanya
Aku mencibir, tersenyum mengejeknya. Dia memegangi ujung kertas gambar dan mengguncangnya.
Dan mempelototiku dengan bola matanya yang meluluhkan, bulu mata lentik dan bola mata bening itu memaksaku mengembalikan pandanganku ke atas kertas gambar.
"Iya,deh..iya.."kataku mengalah.
Walau masih rasa ego namun setelah itu aku mau saja memanjangkan rambut gambar anak prempuan dalam sketsa dengan coretan pensilku. Dia tersenyum menang.
"Nah gitu dong. Awas saja kalau buat gambar jelek" ancamnya bercanda sambil tangannya menjewer halus telingaku. Dia melepaskan kedua tangannya dari bahuku.
"Ayo kita pulang, hujan sudah reda" Dia bangkit duluan. Aku ikut berdiri dan sambil membetulkan tas masing masing, dan dia merampas kertas gambar dari tanganku lalu memasukannya ke dalam tas bukunya.
Walau masih rasa ego namun setelah itu aku mau saja memanjangkan rambut gambar anak prempuan dalam sketsa dengan coretan pensilku. Dia tersenyum menang.
"Nah gitu dong. Awas saja kalau buat gambar jelek" ancamnya bercanda sambil tangannya menjewer halus telingaku. Dia melepaskan kedua tangannya dari bahuku.
"Ayo kita pulang, hujan sudah reda" Dia bangkit duluan. Aku ikut berdiri dan sambil membetulkan tas masing masing, dan dia merampas kertas gambar dari tanganku lalu memasukannya ke dalam tas bukunya.
Kami berjalan ber iringan menjauhi teras di tengah rintik rintik kecil hujan...Langit di desa masih gelap oleh mendung dan hawanya yang dingin seolah membekukan pucuk pucuk pohon rumbia dan daun daun pelem yang menjulang tinggi....namun mematri kembali kenangan demi kenangan kebersamaan kami ke dalam bingkai kenangan yang kuat.
Hari itu dijalan menuju pasar desa seorang pria buta berkulit hitam dengan wajah bopeng oleh bekas cacar mengenderai sepedanya, anehnya walau buta dia mahir sekali bersepeda, bahkan menurut cerita orang orang tidak pernah dia menabrak sekalipun anak anak ayam yang sedang berkeliaran pada saat mengendrai sepedanya. Usianya pada waktu itu sekitar 37 tahun.
Di perbatasan jalan ujung desa ada sebuah jembatan darurat selebar dua keping papan yang diikatkan kepada kayu broti. Selama ini pria itu melewati jembatan diatas parit sedalam satu meter tersebut dengan selamat. Kecuali hari itu ketika enam orang teman teman sekolahku yang terkenal suka usil diam diam pergi disana. Mereka mengangkat dan menyembunyikan jembatan kayu tersebut dan menunggu pria malang yang akhirnya ku ketahui bernama Ibrahim tersebut melewati parit selebar satu setengah meter.
Di perbatasan jalan ujung desa ada sebuah jembatan darurat selebar dua keping papan yang diikatkan kepada kayu broti. Selama ini pria itu melewati jembatan diatas parit sedalam satu meter tersebut dengan selamat. Kecuali hari itu ketika enam orang teman teman sekolahku yang terkenal suka usil diam diam pergi disana. Mereka mengangkat dan menyembunyikan jembatan kayu tersebut dan menunggu pria malang yang akhirnya ku ketahui bernama Ibrahim tersebut melewati parit selebar satu setengah meter.
Pria tersebut akhirnya muncul mengenderai sepeda seperti biasa dengan penuh percaya diri dia mengayuh sepedanya menyeberangi parit tersebut. Aku tidak berdaya mencegahnya ketika kudengar suara jatuh dan suara teriakan terkejut dan marah dan diselingi sorakan dan tertawa teman temanku yang segera berhamburan lari. Aku hanya melihat lumpur berair muncrat keatas parit.
Beberapa orang yang kebetulan lewat mendatangi termasuk anak anak prempuan sekolah yang sedang keluar istirihat. Aku melihat Mahdalena memarkir sepeda mininya didekat bibir parit. Dan tanpa menunggu dia berteriak sambil menghulurkan tangannya yang putih bersih itu kepada pria buta yang sudah berdiri dan berusaha naik. Aku melihat tangan pria itu penuh lumpur ketika memegang lengan mahdalena. Beberapa pria membantu sambil marah marah karena perbuatan usil pencuri jembatan itu. Aku segera mendatangi tempat itu dengan perasaan bersalah karena tidak bisa mencegah perbuatan teman temanku tadi.
Beberapa orang yang kebetulan lewat mendatangi termasuk anak anak prempuan sekolah yang sedang keluar istirihat. Aku melihat Mahdalena memarkir sepeda mininya didekat bibir parit. Dan tanpa menunggu dia berteriak sambil menghulurkan tangannya yang putih bersih itu kepada pria buta yang sudah berdiri dan berusaha naik. Aku melihat tangan pria itu penuh lumpur ketika memegang lengan mahdalena. Beberapa pria membantu sambil marah marah karena perbuatan usil pencuri jembatan itu. Aku segera mendatangi tempat itu dengan perasaan bersalah karena tidak bisa mencegah perbuatan teman temanku tadi.
Aku tidak pernah menyangka peristiwa pria cacat jatuh keparit itu adalah pertanda sebuah takdir yang akan menimpa Mahdalena. Setelah kami menginjak kelas tiga SMP, malapetaka menimpa dirinya. Tiba tiba dia berubah jadi pemurung dan mengurung diri dikamarnya, bahkan menemuikupun dia tidak pernah mau. Dalam beberapa bulan kemudian terdengar berita dia telah hamil! Aku ingin sekali tidak mempercayainya, bahwa itu hanya mimpi Namun itu terjadi. Aku terpukul dan entah mengapa merasa hancur hingga hampir mempengaruhi prestasiku sebagai juara bertahan dikelas kami.
Lalu dari warung sebagai sumber berita ibu ibu, adik prempuanku bercerita bahwa Mahdalena hamil karena diperkosa oleh Abang angkatnya yang sudah duduk di kelas 2 SMA. Hal itu terjadi pada waktu kedua orang tuanya pergi kekota menghadiri pernikahan keponakan mereka selama beberapa hari. Abang angkat yang dianggapnya sebagai abang kandung itu telah dipelihara oleh keluarganya sejak bayi, beberapa tahun sebelum Mahdalena dilahirkan. Waktu itu orang tuanya ingin sekali punya anak, dan orang orang menganjurkannya agar "memancingnya" dengan mengadopsi seorang anak. Tersiar juga cerita lain bahwa abangnya itu adalah bayi terlantar yang ditinggal pergi oleh seorang lelaki tidak bertanggung jawab. Namanya Abi.
Dia sering pulang malam dan bergaul dipasar dengan orang orang lebih dewasa dan mereka sering mengajaknya nonton filem porno. Tengah malam gerimis itu dia pulang dan mengetuk pintu keras keras, Mahdalena membukakan setengah mengantuk. Aku tidak sanggup membayangkan malam jahanam itu, malam yang merobah nasibnya dan mungkin juga nasib dan jalan hidupku untuk selamanya.
Dia sering pulang malam dan bergaul dipasar dengan orang orang lebih dewasa dan mereka sering mengajaknya nonton filem porno. Tengah malam gerimis itu dia pulang dan mengetuk pintu keras keras, Mahdalena membukakan setengah mengantuk. Aku tidak sanggup membayangkan malam jahanam itu, malam yang merobah nasibnya dan mungkin juga nasib dan jalan hidupku untuk selamanya.
Suatu masa orang tuaku mengirimku untuk bersekolah ke kota dan perlahan aku mulai melupakan kesedihan dan tidak terasa aku berubah menjadi kutu buku. Namun aku masih mendengar cerita betapa hancur hati kedua oang tua Mahdalena, tetapi aku membayangkan lebih hancur lagi hati dan kehidupan Mahdalena, sejak itu dia dikurung dan diberhentikan dari sekolah.
Tradisi tidak tertulis dikampung kami pada waktu itu adalah: Jika seorang anak gadis hamil diluar nikah itu adalah aib sangat besar dan tidak tertanggungkan keluarga, apalagi yang memperkosanya adalah orang yang selama ini hidup ditengah keluarga mereka sendiri. Diam diam keluarga akan mencari pria yang mau menikahi anak gadisnya. Orang yang bersedia akan menerima "upah" karena bersedia menjadi menantu penutup aib, dan yang lebih penting sianak gadis akhirnya berstatus punya suami. Sehingga orang orang akan berhenti membicarakannya. Mencari suami upahan harus secepat mungkin karena usia kehamilan akan semakin terlihat ketika perut anak gadis membuncit.
Aku mendengar berita yang lebih menyedihkan, akhirnya Mahdalena dinikahkan dengan pria buta berwajah penuh bekas cacar. Pria yang dulu dia ikut menolongnya karena terjatuh keparit itu. Artinya Magdalena (atau Mahdalena) telah dibuang oleh keluarganya.
Bertahun tahun kemudian aku menyelesaikan studiku dan mendapatkan pekerjaan yang cukup baik dikota. Kebahagiaanku bertambah karena akhirnya aku mendapatkan seorang kekasiih cantik yang pernah duduk satu kampus. Kini aku telah dewasa dan wajahku mulai ditumbuhi kumis dan brewok. Suatu hari aku pamit pada kekasihku untuk pulang sendirian menjenguk orang tua didesa karena selama ini merekalah yang datang menjengukku ke kota.
Aku melewati jalan itu dengan ransel dipunggung, tidak ada yang mengenalku. Aku menyadari ada yang hilang, jalan jalan telah menjadi semakin lebar dan diaspal bangunan bangunan berubah menjadi lebih baik, aku memanggil becak dan memintanya mengantarkanku ke ujung jalan desa.
Aku ingat disanalah Ibrahim lelaki cacat itu dulu tinggal bersama ibunya yang telah tua. Disamping mahir bersepeda dia jago memanjat kelapa, harus kuakui itu luarbiasa. Dia menyadap pucuk pucuk kelapa agar mengasilkan gula merah. Gula merah itu dijual setiap hari pasar desa. Dengan itulah dia menghidupi dirinya dan ibunya.
Aku melangkah pelan dan berdiri memandang kerumah kayu beratap rumbia dari balik pohon besar. Tidak banyak berubah pada rumah kayu tua itu. Kecuali pada halamannya yang benar benar membuat aku memandang dengan panasaran. Halaman itu kini ditumbuhi oleh bunga bunga mawar merah.
Aku melangkah pelan dan berdiri memandang kerumah kayu beratap rumbia dari balik pohon besar. Tidak banyak berubah pada rumah kayu tua itu. Kecuali pada halamannya yang benar benar membuat aku memandang dengan panasaran. Halaman itu kini ditumbuhi oleh bunga bunga mawar merah.
Selagi aku masih mematung menatap bunga bunga itu dari kejauhan. Seorang pria berkulit hitam berwajah cacar sedang menuntun sepedanya akan memasuki halaman rumah itu. Nampak rambutnya mulai beruban. Seorang anak lelaki berkulit putih menghambur keluar dan berteriak gembira: "Ayah, ayah!" Wajah lelaki buta itu nampak tersenyum lebar. Aku jadi teringat anak yang dikandung Mahdalena dulu.
Tapi sebelum aku mengingat jauh seorang wanita muda menyusul keluar menyambut lelaki yang lebih pantas menjadi ayahnya itu, membantunya menuntun sepeda...aku semakin terpesona oleh kenyataan itu tak sadar aku menghela nafas sambil menggenggam kencang tali ransel dipunggungku. Wajah wajah itu adalah wajah sebuah keluarga bahagia. Mahdalena telah menemukan cinta sejatinya....
Tapi sebelum aku mengingat jauh seorang wanita muda menyusul keluar menyambut lelaki yang lebih pantas menjadi ayahnya itu, membantunya menuntun sepeda...aku semakin terpesona oleh kenyataan itu tak sadar aku menghela nafas sambil menggenggam kencang tali ransel dipunggungku. Wajah wajah itu adalah wajah sebuah keluarga bahagia. Mahdalena telah menemukan cinta sejatinya....
Dan kebun bunga mawar itu adalah bukti cinta yang dulu pernah dikatakannya kepadaku. Kebun bunga yang sempat singgah diangan angan masa remajaku...
Kini aku belajar melupakan masa lalu dan memaafkan diriku sendiri karena sudah sempat membenci lelaki buta itu. Kini aku tahu setiap orang memiliki kebaikan, keberuntungan, kebahagiaan dan Cinta sejati di dalam dunia mereka sendiri. Walaupun hanya seorang lelaki tua dan buta, namun kini dia adalah sebuah dunia bagi Magdalena.
Harusnya aku ikut bahagia...